Senin, 31 Agustus 2020

#IniUntukKita - Literasi Ekonomi Milenial untuk Kemajuan Negara

  

Sumber gambar : https://unsplash.com


“Membaca adalah alat paling dasar untuk hidup yang baik” (Joseph Addison).

 

Di era saat ini, generasi milenial memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan sebuah negara. Untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, tentunya harus dibekali dengan wawasan dan pengetahuan yang memadai. Begitu pula perihal ekonomi. Faktanya, tingkat literasi ekonomi generasi milenial masih sangat minim. Tingkat literasi ekonomi di Indonesia termasuk yang tertinggal dibanding negara Asia Tenggara lainnya, seperti Singapura sembilan puluh persen, Malaysia delapan puluh persen, Thailand tujuh puluh persen, sedangkan Indonesia masih sekitar dua puluh persen saja (Kompasiana, 2019). Hal tersebut tentunya menjadi sebuah kontradiksi.

Ekonomi menjadi salah satu poin utama dalam kemajuan sebuah negara. Dengan pengelolaan ekonomi yang baik, pengelolaan sebuah negara dapat dikatakan berhasil. Literasi ekonomi yang baik dari masyarakat di suatu negara, mengindikasikan bahwa ekonomi menjadi salah satu fokus utama dalam dinamika negara tersebut.

Literasi ekonomi atau “melek ekonomi” adalah pemahaman dan pengetahuan dasar teori ekonomi, konsep dan aplikasi (Solihat & Arnasik, 2018). Literasi ekonomi menjadi bagian yang sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan literasi ekonomi yang baik, generasi milenial dapat lebih berhati-hati dalam menentukan segala tindakan yang akan diambil dalam hidupnya berkaitan dengan hal-hal finansial. Literasi ekonomi juga bermanfaat untuk mencegah pola hidup konsumtif yang seringkali mempengaruhi kualitas hidup generasi milenial. Pola hidup konsumtif sendiri merupakan cerminan bagaimana seseorang menjalankan gaya hidupnya. Perilaku seperti ini, bukanlah tergolong konsumen yang otonom, namun bagian dari consumer society yang dipengaruhi oleh lingkungan.

Masyarakat yang cerdas akan mampu memilih perilaku konsumsi yang mampu mendukung perekenomian negaranya dengan mengedapankan produk buatan dalam negeri sebagai prioritas. Seringkali, efek globalisasi membuat perilaku konsumsi generasi milenial cenderung berseberangan dengan kemajuan ekonomi dalam negeri. Akibatnya, produk-produk buatan dalam negeri tidak mengalami perkembangan yang signifakan dan tidak memberikan impact yang positif terhadap perekonomian negara. Padahal, generasi milenial sendiri cenderung memiliki semangat entrepreneurship, diindikasikan dengan banyaknya kemunculan startup business saat ini. Sejatinya, bisnis-bisnis tersebut perlu didukung dengan pola konsumsi yang memajukan produk-produk dalam negeri.

 

 

Sumber gambar : https://blog.e-mas.com/

 

Untuk meraih kehidupan yang lebih baik dan mendukung perekonomian negara, maka generasi milenial perlu membekali dirinya dengan pemahaman ekonomi yang memadai. Hal tersebut dapat diraih dengan meningkatkan literasi ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, segala keputusan yang diambil oleh generasi milenial dalam konteks finansial dapat berorientasi kepada masa depan yang terencana.

Ketika generasi milenial dalam kehidupan sehari-harinya dapat mengelola keuangan mereka dengan lebih baik, hal tersebut dapat mengurangi resiko-resiko yang terjadi dalam hidup mereka yang sesungguhnya juga memiliki dampak terhadap ekonomi negara. Contohnya, jika generasi milenial mampu menjaga kestabilan keuangan mereka, secara tidak langsung generasi milenial mengurangi ancaman bertambahnya jumlah pengangguran. Selain itu, jika generasi milenial mampu mengelola keuangannya dengan berinvestasi untuk hal-hal yang lebih visioner seperti kepemilikan aset properti, hal tersebut juga menunjang meningkatnya angka kesejahteraan masyarakat.

Dengan generasi milenial yang “melek ekonomi” karena didukung oleh tingkat literasi ekonomi yang tinggi, diharapkan di masa yang akan datang saat para generasi milenial ini memegang peranan-peranan penting dalam konteks kenegaraan, generasi milenial akan mampu membawa negara ini ke arah yang lebih baik dari sisi ekonomi. Mengapa demikian? Karena dengan kemampuan mereka mengelola keuangan pribadinya sedari dini, generasi milenial akan mampu mengelola sesuatu yang lebih besar kelak. Ditunjang dengan budaya literasi ekonomi yang terus dijaga, maka generasi milenial sebagai penerus bangsa akan selalu up to date dengan perkembangan dan dinamika yang terjadi dalam sektor ekonomi, sehingga para penerus bangsa ini dapat mengambil kebijakan atau keputusan yang terbaik bagi kemajuan bangsa dan negara tercinta.

Literasi ekonomi harus dipupuk sejak dini dan dijaga secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Generasi milenial sebagai harus sadar bahwa mereka tidak hanya bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup mereka, melainkan masa depan negara ini juga berada di tangan mereka. Dengan pola hidup generasi milenial yang sangat aktif dan dengan kemampuan mereka untuk berpikir kreatif, serta didukung oleh kemajuan teknologi informasi yang mutakhir saat ini, rasanya meningkatkan literasi ekonomi bukanlah suatu hal yang sulit untuk dilakukan. Semuanya kembali lagi pada kesadaran generasi milenial akan pentingnya aspek ekonomi dalam kehidupan ini.

 

 

~§~

Minggu, 30 Agustus 2020

Pavegen Tiles : Melangkah Menuju Masa Depan


 Sumber gambar : https://www.ovoenergy.com/

 

“A journey of thousand miles begin with a single step” (Lao Tzu).

 

Kebutuhan akan adanya sumber daya energi baru pengganti sumber daya fosil semakin mendesak. Di Indonesia sendiri, kondisi darurat energi sebetulnya sudah terjadi akibat penurunan produksi minyak bumi sejak tahun 1991 (BPPT, 2018). Di samping itu, penggunaan sumber daya fosil sebagai pembangkit energi juga meningkatkan polusi lingkungan yang berakibat pada timbulnya global warming. Kelangkaan sumber daya penghasil energi dan ancaman perubahan iklim global sebetulnya dapat ditanggulangi dengan “sebuah langkah kecil” yang jika dikelola dengan baik dapat menghasilkan sebuah investasi besar untuk masa depan kita semua.

Di kota-kota besar terutama di tempat-tempat umum yang menampung aktivitas manusia dalam intensitas tinggi, aktivitas tersebut dapat dimanfaatkan menjadi sebuah alternatif untuk energi terbarukan. Sebuah teknologi bernama pavegen tiles memanfaatkan pijakan atau langkah kaki manusia yang dapat dikonversikan menjadi energi listrik. Pavegen tiles sendiri adalah sebuah generator elektro magnetik yang mengkonversikan energi kinetik menjadi energi listrik. Cara kerja pavegen tiles adalah dengan meletakan sebuah panel komposit di permukaan jalan, kemudian apabila panel tersebut diberikan tekanan melalui langkah atau pijakan kaki manusia akan menghasilkan energi sekitar dua sampai empat joule dengan satu kali pijakan. Dengan satu kali pijakan, dapat menyalakan sebuah lampu LED selama kurang lebih tiga puluh detik. Bisa dibayangkan apabila panel-panel pavegen tiles ditempatkan di lokasi dimana banyak orang berlalu lalang dengan intensitas pijakan yang tinggi, maka dapat menghasilkan energi listrik yang mencukupi kebutuhan listrik untuk penerangan jalan di area tersebut. Kita ambil contoh di sebuah stasiun kereta api, dimana banyak orang berlalu lalang disana setiap harinya. Apabila di permukaan jalan ditempatkan panel-panel pavegen tiles dalam jumlah banyak, maka kebutuhan energi untuk mengoperasikan penerangan di kawasan stasiun kereta api tersebut sudah dapat terpenuhi hanya dengan langkah atau pijakan orang-orang yang beraktivitas disana. Hal ini merupakan solusi yang sangat efektif dan efisien. Di samping itu, pavegen tiles juga mengkonversi setiap pijakan menjadi data dan ditransmisikan menggunakan teknologi bluetooth ke ponsel kita sehingga kita dapat mengetahui berapa pijakan kaki yang telah kita sumbangkan untuk menghasilkan energi listrik. Setelah mencapai jumlah tertentu, kita bisa mendapatkan reward atas sumbangsih yang telah kita berikan.

 

 

Sumber gambar : https://www.pavegen.com/

 

Pengembangan lebih lanjut dari pavegen tiles ini dapat dilakukan dengan skala yang lebih besar. Contohnya, apabila panel-panel pavegen tiles dapat dimodifikasi untuk ditempatkan di permukaan jalan dimana banyak kendaraan berlalu lintas, maka kendaraan-kendaraan yang melintas dapat menghasilkan energi listrik untuk setidaknya menerangi lampu-lampu penerangan jalan umum yang terdapat di kawasan tersebut. Semakin banyak kendaran yang melintas dan semakin banyak jumlah panel yang tersebar, maka semakin tinggi juga energi yang akan dihasilkan.

Tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana teknologi pavegen tiles ini bisa kita terapkan di Indonesia. Apakah ilmuwan-ilmuwan di Indonesia sudah dapat membuat dan mengembangkan panel-panel sejenis pavegen tiles? Bagaimana daya-daya yang dihasilkan melalui pijakan kaki tersebut dapat digunakan untuk keperluan yang lebih besar? Lalu, dibutuhkan pula adanya kerjasama antar beberapa disiplin ilmu seperti electrical engineering dan civil engineering agar teknologi pavegen tiles ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tantangan-tantangan tersebut harus dapat kita jawab demi mencari solusi untuk kebutuhan energi di masa depan. Sudah saatnya kita dapat menghasilkan energi dengan cara yang efektif dan efisien karena inovasi-inovasi teknologi harus dikembangkan berdasarkan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan kita. Mari melangkah menuju masa depan dengan cara-cara yang baik untuk kehidupan yang lebih baik!

 

 

 

~§~

Energi Baru di Ibukota Baru

 

Sumber gambar : https://karmaimpact.com

“Kalau ingin melakukan perubahan, jangan tunduk terhadap kenyataan.

Asalkan kau yakin di jalan yang benar, maka lanjutkan!”

(K.H. Abdurrahman Wahid).

 

Dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia akan mengukir sejarah baru. Apakah itu? Ya, Indonesia akan memiliki ibukota baru di Palangkaraya. Ibukota yang diharapkan akan menjadi jawaban atas berbagai masalah yang selama ini melekat di Jakarta. Tentunya, sebagai ibukota baru, Palangkaraya harus mempersiapkan diri agar dapat menjadi ibukota yang lebih baik dari ibukota sebelumnya. Apalagi di era globalisasi seperti saat ini, sorotan mata dunia pastinya akan tertuju pada Indonesia ketika rencana pergantian ibukota tersebut akhirnya terealisasi. Idealnya, apa yang terjadi nanti tidak hanya sekedar perpindahan lokasi ibukota saja, tanpa membawa perubahan-perubahan baru. Ibukota baru Indonesia harus menjadi barometer yang dapat menginspirasi dunia. Inspirasi itu dapat tercipta melalui beberapa hal, salah satunya pengembangan dan pengelolaan sumber daya energi.

Jika selama ini kebutuhan energi di Jakarta masih cenderung dipasok dengan fasilitas-fasilitas yang menggunakan sumber daya energi konvensional, maka nantinya Palangkaraya harus berkembang menjadi lebih baik dari apa yang terjadi saat ini. Dengan kondisi darurat energi yang tengah dialami Indonesia dan isu global warming yang semakin hari semakin mengkhawatirkan di dunia, maka Indonesia dengan ibukota barunya kelak harus menjadi contoh sebagai kota modern yang ditopang dengan energi yang dihasilkan oleh teknologi-teknologi mutakhir. Teknologi tersebut tentunya harus berorientasi pada sumber daya energi baru atau terbarukan dan ramah lingkungan. Salah satu alternatifnya adalah dengan menerapkan pembangkit listrik yang mengandalkan tenaga surya. Daya yang dibutuhkan untuk menopang kebutuhan energi sebuah ibukota memang besar. Maka dari itu, mulai dari saat ini di fase perencanaan, perlu dialokasikan sebuah wilayah yang memadai untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya yang layak. Teknologi pembangkit listrik tenaga surya yang akan digunakan nantinya pun harus ditingkatkan agar dapat berfungsi se-optimal dan se-efisien mungkin. Berbeda dari yang telah diterapkan di beberapa daerah di Indonesia, pembangkit listrik tenaga surya yang ada di Palangkaraya kelak harus diproyeksikan tidak hanya diperuntukan bagi kebutuhan listrik bangunan atau pemukiman, namun juga harus dapat digunakan untuk mengoperasikan fasilitas umum, hingga moda transportasi masal. Hal tersebut memang merupakan sebuah tantangan yang besar baik dari segi perencanaan, anggaran, pelaksanaan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, solusi ini dapat menjadi investasi yang baik bagi Indonesia ke depannya seperti apa yang telah dilakukan oleh Maroko di Kota Ouarzazate dan Australia di Kota Sydney. Dengan perencaan dan pelaksanaan yang baik, Indonesia akan kembali memiliki pembangkit listrik tenaga surya dengan skala besar seperti yang telah dibangun di Nusa Tenggara Timur.

Sebagai ibukota baru, sudah selayaknya Palangkaraya menjadi contoh bagi daerah-daerah lainnya di negeri ini. Jika apa yang dilakukan di Palangkaraya nantinya berhasil, bukan tidak mungkin hal serupa dapat diterapkan pula di berbagai daerah di Indonesia. Selain sebagai kota modern yang menerapkan berbagai teknologi mutakhir, Palangkaraya harus menjadi green city, yaitu kota yang ramah lingkungan. Palangkaraya harus hadir sebagai kota yang bebas emisi. Hal tersebut selaras dengan keberadaannya di Pulau Kalimantan yang termahsyur sebagai salah satu “paru-paru dunia”. Polusi yang terjadi di Jakarta akibat penggunaan sumber daya energi fosil yang berlebihan, tidak boleh terulang kembali di Palangkaraya kelak.

Sejatinya, perubahan adalah suatu hal yang pasti. Namun, sesungguhnya kita memiliki andil atas perubahan yang akan terjadi. Memang, untuk mewujudkan suatu perubahan besar seperti yang telah dijabarkan di atas bukanlah pekerjaan mudah. Tetapi, dengan dedikasi dan integritas yang tinggi, apa yang menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia dapat terwujud, yaitu memiliki sebuah ibukota baru yang membawa semangat baru bagi kehidupan di tanah air dan inspirasi bagi dunia. Sebagai bangsa yang memiliki keinginan untuk terus bergerak maju, perlu adanya koordinasi yang baik antara setiap stakeholder yang memiliki peranan dalam proses pergantian ibukota ini, baik itu pemerintah, swasta, hingga masyarakat. Setiap pihak harus mempersiapkan diri dengan baik dan mampu bekerja secara harmonis agar apa yang dicita-citakan dapat terealisasi. Dengan sumber energi baru, tentunya harapan baru akan muncul di ibukota baru kelak.

  

 

~§~

Inovasi Energi : Antara Teknologi dan Implementasi


 Sumber gambar : https://ec.europa.eu/energy


 “Kemamuan untuk bertindak adalah salah satu bentuk energi terbarukan”         (Al Gore)


Dalam ekosistem yang ada di kehidupan, kebutuhan akan energi merupakan sebuah hal penting yang harus tersedia. Dengan kehidupan yang semakin kompleks dan modern ini, rasanya segala keperluan kita sebagai manusia akan selalu ditopang oleh peranan sumber daya energi sebagai sebuah entitas yang bersifat sakral. Sebagai manusia yang dibekali anugerah berupa akal pikiran oleh Tuhan Yang Maha Esa, tentunya manusia akan terus berinovasi demi memenuhi kebutuhannya, termasuk perihal sumber daya energi. Mengingat perubahan yang terus terjadi berkaitan dengan keadaan alam, manusia harus memutar otak untuk menemukan solusi atas setiap permasalahan yang terjadi. Mulai dari menipisnya cadangan sumber daya energi konvensional seperti bahan bakar fosil ataupun kerusakan alam yang diakibatkan oleh ketidakbijaksanaan manusia itu sendiri dalam mengelola sumber daya alam.

Dari dahulu hingga saat ini, sudah begitu banyak inovasi-inovasi yang coba dilakukan oleh manusia perihal pengembangan sumber daya energi baru atau terbarukan. Mulai dari penggunaan energi sinar matahari hingga konversi hidrogen menjadi bahan bakar, semuanya dilakukan demi melepaskan diri dari ketergantungan kepada bahan bakar fosil. Di samping itu, gentingnya fenomena global warming juga terus memaksa kita untuk mencari sumber daya energi lain yang lebih bersahabat bagi lingkungan.


Indonesia Darurat Energi

Data menunjukan bahwa mulai dari tahun 1991, produksi minyak di Indonesia selalu menurun karena sumur-sumur penghasil minyak bumi yang ada tidak lagi produktif (BPPT, 2018). Hal tersebut berbanding terbalik dengan ketergantungan kepada bahan bakar minyak yang semakin meningkat karena bertambahnya populasi penduduk dan angka penggunaan kendaraan bermotor yang kian tinggi. Indonesia juga tidak lagi menjadi negara penghasil minyak bumi yang surplus. Mau tidak mau, fakta yang harus kita terima adalah bahwa sumber daya energi yang berasal dari energi fosil baik itu minyak bumi, gas bumi, atau batu bara semakin lama semakin langka dan tinggal menunggu waktunya saja ketika semua sumber daya itu akan habis. Kelangkaan yang terjadi juga mengakibatkan harga bahan bakar konvensional akan terus meningkat dan dapat mengganggu kestabilan ekonomi negara apabila terus ditanggulangi dengan cara subsidi harga. Maka dari itu, sudah saatnya kita semua sadar bahwa negara ini sedang mengalami situasi darurat energi.

 

Teknologi Menjadi Solusi?

Kampanye yang paling sering digaungkan baik di Indonesia ataupun di belahan negara lain di dunia ini adalah penggunaan sumber daya energi alternatif sebagai pengganti energi fosil. Yang paling sering kita dengar adalah energi listrik, energi surya, hingga teknologi hybrid. Masalah pokok yang selalu menjadi momok bagi pengembangan teknologi terutama di bidang energi adalah impelmentasi di masyarakat. Sepanjang sejarah hidup manusia modern hingga saat ini, kebiasaan menggunakan energi fosil sebagai bahan bakar sudah menjadi ketergantungan yang sangat akut. Mulai dari ruang lingkup masyarakat yang luas seperti sebuah negara, hingga yang tersempit seperti keluarga, semuanya tergantung terhadap penggunaan energi fosil. Ketergantungan tersebut sangat sulit dilepaskan dari kehidupan kita. Tidak dapat dipungkiri, hingga saat ini bahkan fenomena penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak di dapur pun masih terjadi di lapisan masyarakat yang belum begitu berkembang atau dengan kata lain “melek energi”. Belum lagi jika kita melihat ketergantungan akan bahan bakar gas dalam rumah tangga, hingga bahan bakar minyak dalam moda transportasi, penggunaannya sangat tinggi dan masif. Di level yang lebih tinggi, banyak pelaku usaha di sektor industri yang masih sangat tergantung dengan penggunaan energi fosil. Logikanya, jika di lapisan masyarakat yang lebih tinggi saja ketergantungan akan energi fosilnya masih tinggi, apalagi di lapisan masyarakat yang lebih bawah, atau bahkan di daerah-daerah terpelosok? Yang lebih ironis lagi, untuk sekedar mengenal teknologi-teknologi baru sebagai pengganti bahan bakar fosil pun belum teraplikasikan dengan baik. Rasanya apapun teknologi yang nantinya berhasil ditemukan sebagai solusi atas permasalahan yang terjadi, akan menjadi percuma ketika pengimplementasiannya masih sangat minim.

 

Inovasi Perihal Implementasi

Mungkin ada satu hal yang sering kita lupakan sebagai inovator. Seiring dengan kita terus berupaya untuk menemukan teknologi baru demi menjawab permasalahan yang ada, kita perlu berpikir lebih jauh bagaimana teknologi tersebut dapat terimplementasikan dengan baik hingga ke lapisan masyarakat yang paling bawah. Kita harus menemukan cara-cara yang efektif agar pengaplikasian penggunaan sumber daya energi alternatif yang ada bisa diterima di kalangan pengguna, sehingga suatu saat sesuatu yang hanya alternatif tersebut bisa bertransformasi menjadi sumber daya energi pokok yang selalu digunakan sdalam kehidupan sehari-hari. Tentunya hal tersebut memerlukan koordinasi dari berbagai pihak. Dari mulai sektor industri, landasan hukum atau peratutran, bahkan rasanya perlu adanya pembekalan sejak dini dari sisi pendidikan mengenai penggunaan energi baru atau terbarukan tersebut apabila kelak akan benar-benar digunakan. Mengapa demikian? Karena pada akhirnya kita sebagai masyarakat yang menjadi pengguna adalah titik akhir dari rangkaian permasalahan yang ada. Apapun teknologinya, yang terpenting adalah kita sebagai individu dan bagian dari masyarakat dapat menggunakan energi tersebut dengan baik dan perlahan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sesuatu yang sudah using dan tidak relevan lagi bagi keselarasan antara keberlangsungan hidup dan kelestarian alam sebagai rumah dimana kita bernaung. Adapun yang dapat kita lakukan saat ini adalah kita harus memulai membiasakan diri untuk “hemat energi” dan mengakrabkan diri dengan teknologi-teknologi yang sejauh ini telah hadir sebagai jawaban untuk mengatasi situasi darurat energi yang tengah terjadi. Mari kita mulai dari penanaman mindset, pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari, hingga hal tersebut menjadi kebiasaan dalam hidup kita!

 

~§~

 

Selasa, 11 Agustus 2020

Menggapai Rumah Impian dengan Belajar dari Masa Pandemi

 

Sumber foto : kiprah.pu.go.id



“Rumahku, istanaku”. Peribahasa tersebut mungkin pernah kita dengar dulu. Ya, sepertinya masih sering terngiang dalam ingatan kita. Namun, slogan-slogan yang berkaitan dengan rumah seperti “di rumah saja”, “stay at home”, “work from home”, hingga “learn from home” lebih sering terdengar di telinga kita belakangan. Segala aktivitas saat ini selalu dikaitkan dengan rumah sebagai representasi sebuah keamanan yang seolah dapat membentengi diri kita dari berbagai ancaman di luar.  Memiliki rumah sebagai tempat tinggal sepertinya memang selalu menjadi hal diimpikan kebanyakan dari kita. Terlebih ketika kita menghadapi situasi tidak terduga seperti belakangan ini yang mengharuskan untuk tetap berada di rumah. Alangkah indahnya membayangkan bilamana kita telah memiliki rumah sebagai tempat bernaung. Akan tetapi, bagi sebagian dari kita yang telah memiliki rumah sebagai tempat tinggal, untuk tetap berada di dalamnya seperti saat pandemi ini justru merupakan sebuah tantangan. Mengapa kontradiksi tersebut bisa terjadi? Adakah hal-hal yang terlupakan berkenaan dengan rumah itu sendiri?

Berada dalam suatu tempat yang sama untuk kurun waktu yang tidak sebentar, tentu saja memerlukan kenyamanan ekstra. Sebagai tempat tinggal, seringkali kita melupakan berbagai aspek yang seharusnya hadir di dalam rumah. Sebagian besar dari kita memang lebih banyak beraktivitas di kantor, kampus, sekolah, atau pun di tempat-tempat outdoor, sehingga tempat tinggal yang ada hanya dijadikan tempat untuk melepas lelah, bukan sebagai tempat utama untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Kini di masa seperti ini, semuanya telah berubah. Untuk merubah kebiasaan tersebut, tentunya memerlukan adaptasi sebagai bentuk kompromi menghadapi realita yang ada. Tentu itu bukanlah hal yang mudah.

Demi meminimalisir hal-hal negatif yang membuat kita merasa tidak nyaman untuk berada di rumah, maka beberapa hal perlu dilakukan. Salah satu hal utama yang perlu dillakukan adalah rekonstruksi ulang mindset kita mengenai hal yang kita sebut sebagai “rumah”. Rumah memang hanyalah salah satu jenis bangunan tempat tinggal. Akan tetapi, jauh lebih dari itu kita harus memaknai rumah sebagai tempat kita akan kembali dari mana pun kita pergi. Rumah juga dapat dimaknai sebagai benteng yang melindungi kita dari berbagai macam ancaman. Idealnya, rumah pun harus dimaknai sebagai tempat dimana kita paling merasa nyaman ketika kita berada di dalamnya. Ketika kita berhasil menanamkan makna rumah yang hakiki dalam diri kita, untuk tetap berada di dalam rumah dalam kurun waktu yang relatif lama, bukanlah sesuatu yang menakutkan untuk dilakukan.

Jika peribahasa “kebersihan adalah sebagian dari iman” pernah kita dengar, sebaiknya peribahasa tersebut dapat kita realisasikan di tempat tinggal kita. Bagaimana mungkin kita berupaya untuk tetap menjaga kesehatan dengan berada di dalam rumah, tetapi rumah yang kita tinggali tidak mengakomodir aspek kebersihan yang menjadi penopang utama bagi kesehatan? Ketika aspek kebersihan dipenuhi, rasa nyaman pun akan timbul beriringan. Di samping itu, untuk menghadirkan rasa nyaman ketika berada di rumah, perlu diperhatikan sisi keamanan dari rumah tersebut. Aspek keamanan harus dipenuhi guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan untuk terjadi. Sebagaimana benteng yang kokoh, tempat tinggal harus dapat berperan sebagai pelindung diri kita sebagai objek pokok yang ada di dalamnya bersamaan dengan unsur-unsur lain yang harus terlindungi dengan baik. Lebih jauh lagi, fungsi rumah sebagai tempat tinggal juga harus diimbangi dengan berbagai aspek penunjang agar kita dapat melakukan berbagai kegiatan atau aktivitas sehari-hari ketika berada di dalam rumah seperti melakukan pekerjaan, menimba ilmu, beribadah, hingga berolahraga.

Berkaca pada fenomena yang ada, apabila hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya dapat kita penuhi, rasanya untuk tetap berada di dalam rumah bukanlah sebuah hal yang begitu berat untuk dilakukan. Terlebih lagi apabila kita dapat membangun suasana yang harmonis dengan menghadirkan komunikasi dan hubungan yang baik antar pribadi yang menghuni rumah tersebut seperti orang tua, pasangan, hingga anak-anak kita. Dengan belajar dari kejadian-kejadian yang terjadi di masyarkat ketika pandemi, selagi kita merencanakan dan mengupayakan agar kita dapat memiliki rumah impian, sudah semsetinya kita dapat mempersiapkan rumah tersebut sebagai tempat terbaik bagi diri kita kelak. Hal tersebut dilakukan demi menghindari hal-hal negatif yang dapat terjadi kembali di kemudian hari. Dengan demikian, peribahasa “rumahku, istanaku” tidak hanya menjadi peribahasa belaka, namun secara nyata dapat diwujudkan ketika kita memiliki rumah sebagai tempat tinggal dan bernaung.

Dengan adanya pandemi yang telah terjadi, kita juga kembali belajar betapa pentingnya kepemilikan rumah bagi diri kita. Kita kembali memahami bahwa rumah sebagai tempat tinggal adalah kebutuhan pokok yang harus kita penuhi. Pemerintah Indonesia pun melalui Ditjen Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah melakukan berbagai upaya agar masyarakat dapat memiliki rumah impian. Program Satu Juta Rumah, Program Pembangunan Berbasis Komunitas, hingga Program Subsidi Kredit Perumahan Rakyat (KPR) dengan menggunakan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dihadirkan demi memenuhi kebutuhan masyarakat. Dari sisi internal pribadi masing-masing, kita wajib mengupayakan agar impian untuk memiliki rumah dapat terwujud. Akan tetapi sebagai warga negara yang baik, upaya yang kita lakukan harus bersinergi dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah demi terciptanya harmonisasi antara kebutuhan pribadi diri kita dan kehidupan bersama.

Rabu, 22 Januari 2020

Tidak Semua Yang Layak Menang, Akan Menjadi Pemenang.

“Jika engkau memang layak menjadi pemenang, namun engkau tak kunjung menang, kembalilah ke habitat dimana engkau berasal, wahai anjing kecilku! Menggonggonglah sekeras yang kau bisa!
Walaupun pekiknya suaramu tak dapat membangunkan siapapun dari tidurnya.
Meskipun kau bukanlah sang pemenang, setidaknya aku akan menjulukimu sebagai sang petarung”


    Tidak semua yang layak menang akan menjadi pemenang. Idealnya memang segala kemampuan dan kapasitas yang kita miliki, menentukan posisi kita dalam sebuah pertandingan. Apakah kita akan menjadi pemenang? Ataukah menjadi dia yang kalah dalam pertandingan tersebut? Tetapi pada kenyataannya, segala kelebihan yang kita miliki bukanlah parameter yang menentukan bahwa kita akan menjadi pemenang. Bahkan, faktor kerja keras dan perjuangan pun tidak menjadi jaminan bahwa kita akan semakin berpeluang untuk menjadi pemenang.
      Seringkali keberuntungan yang datang dari takdir Sang Maha Esa adalah faktor terpenting untuk kita dapat memenangkan sebuah pertandingan. Ya, setidaknya itu yang aku tahu. Di samping banyaknya faktor-faktor lain buatan manusia yang digunakan sebagai faktor penentu kemenangan. Faktor-faktor yang aku enggan untuk mengetahuinya.
     Akhir kata, ketika kita merasa bahwa diri kita layak untuk menjadi pemenang karena segala kemampuan, kapasitas, kelebihan, pengalaman yang kita miliki, serta kerja keras dan perjuangan yang telah kita lewati, itu semua tidaklah cukup untuk menjadikan kita sebagai seorang pemenang. Setidaknya dalam kehidupan ini.

Jumat, 10 Mei 2019

"Memang Kamu Siapa?"



      Selayaknya manusia pada umumnya, pengakuan atas eksistensi diri kita adalah salah satu kebutuhan hidup. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Abraham Mashlow dalam teorinya, "The Hierarchy of Needs". Merasa berarti, dihargai, dan dibutuhkan oleh orang lain, terlebih dari orang-orang yang kita anggap memiliki value lebih dalam hidup kita adalah hal yang hakiki untuk didapatkan.
          Seringkali kita merasa bahwa keberadaan diri kita menjadi hal yang penting bagi hidup orang lain. Apa yang telah kita lakukan untuk mereka, sejatinya dapat menjadi poin penting bagi mereka untuk mentasbihkan bahwa keberadaan diri kita begitu berarti dalam kehidupannya. Perhatian yang kita terima adalah suatu bentuk lain dari penghargaan atas keberadaan diri kita di kehidupan ini. Bukan berarti pamrih. Namun, memang secara naluriah, manusia membutuhkan hal tersebut. Bukan berarti pula tanpa ketulusan. Hanya sedikit ucapan terima kasih yang dirupakan dalam bentuk tindakan nyata.
         Namun, kenyataan seringkali berkata lain. Orang-orang yang kita pikir menghargai keberadaan kita dalam hidupnya atau menganggap diri kita begitu berarti dalam kehidupannya, justru berperilaku kebalikan. Pada kenyataannya, kita tidak begitu berarti dalam hidup mereka. Ekspektasi tinggi dari diri kita, membuahkan kekecewaan. Terlebih lagi ketika kita tersadarkan akan sebuah pertanyaan, “memang kamu siapa?” Ya, memang kita siapa? Berharap diri kita begitu berarti dalam kehidupan orang lain? Pertanyaan tersebut diperkuat oleh parameter-parameter keduniawian yang semakin membuat diri kita bertanya-tanya. Mungkin saja, kita hanya seorang pemalas yang tidak dapat menyelesaikan tanggung jawab hidupnya dengan baik. Mungkin saja, kita hanya seorang bodoh yang tidak tahu mau dibawa kemana arah hidup kita. Mungkin saja, kita hanya seorang pengangguran yang tak berpenghasilan, seorang yang gagal menyelesaikan pendidikannya, seorang anak manja yang terus menerus hidup bertopang hidup pada keluarga, seorang pemimpi yang menggunakan mimpinya untuk berlindung dibalik kelemahannya, dan lain sebagainya.
      Pada akhirnya, secara pribadi diriku tersadar. “Memang kamu siapa?”, sehingga berharap begitu banyak dari diri orang lain di sekitarmu? Mungkin benar adanya, sebuah rangkaian kalimat yang berbunyi “aku bukan siapa-siapa”. Ya, di mata mereka dan dirinya, ternyata itulah diriku yang sebenarnya.


Cinta dan kasih sayang adalah premis-premis lain yang tidak dapat menghasilkan kesimpulan bahwa seseorang akan menjadi begitu berarti di mata orang yang dicintainya.