Selasa, 01 November 2011

Hari - Hari Esok Adalah Milik Kita

"Hari-hari esok adalah milik kita, Persija jadi juara Ligina", potongan lirik tersebut bagi sebagian besar The Jakmania atau pendukung Persija Jakarta pasti sudah tidak asing lagi. Ya, lirik tersebut terdapat dalam Lagu Kemenangan yang biasa dinyanyikan oleh para The Jakmania saat Persija bertanding. Lagu yang sesungguhnya merupakan adaptasi dari sebuah grup band punk Marjinal, jika kita tinjau lebih dalam lagi merupakan sebuah harapan para supporter terhadap tim kebanggan mereka. Oke, cukup prolog untuk artikel yang satu ini.
Iklim sepakbola Indonesia pasca lengsernya “NH” yang diharapkan lebih baik dari sebelumnya ternyata nihil. Reformasi, revolusi, atau apalah biasa digembor-gemborkan khalayak di tubuh PSSI sesungguhnya bagi saya hanyalah pepesan kosong belaka. Adanya ketua umum PSSI sekarang hanya “boneka” bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu. Kepentingan-kepentingan itu sesungguhnya ada yang positif dan ada yang negatif. Tetapi sesungguhnya walaupun maksudnya positif atau baik, jikalau tidak dilakukan dengan cara yang baik, hanya akan membawa kemelut semata.
Dalam hal ini saya akan membahas tentang kompetsi yang hingga saat saya menulis artikel ini belum juga berjalan. Memang, katanya, kompetisi Indonesian Premiere League (IPL) sudah dibuka melalui pertandingan Persib Bandung kontra Semen Bandung. Ah, bagi saya sesungguhnya kompetisi ini hanya sebuah tindakan yang harus dilakukan PSSI untuk mengakomodir kepentingan pihak-pihak tertentu (saya rasa kita semua sudah tahu siapa “pihak-pihak” tersebut). Dan kita semua juga tahu bahwa kompetisi ini hanyalah cara untuk menghindari sanksi AFC. Di sisi lain sesungguhnya kompetisi ini adalah sebuah bentuk arogansi PSSI era “JAH”. Mengapa saya mengatakan demikian? PSSI sekarang seolah-olah ingin menuntas habis sisa-sisa era NH di segala lini. Mulai dari klub, pengurus, hingga sistim liga yang ada. Padahal tidak semua aspek di rezim NH adalah buruk.Buktinya mereka bisa melaksanakan kompetisi dengan cukup baik, yang tidak bisa dilakukan PSSI sekarang.
Contohnya adalah kasus dualism Persija Jakarta. Dengan arogannya, serta tidak sama sekali mnggunakan rasionalitasnya, PSSI memenangkan kubu Persija versi “HB” yang notabene mantan petinggi salah satu klub di LPI dulu. Dari situ saja, kita semua bisa melihat “kebonekaan” dan begitu lekatnya PSSI era saat ini dengan kubu AP.
Jikalau memang AP memiliki keinginan baik untuk memajukan persepakbolaan di Indonesia ke arah yang mereka sebut “professional”, mengapa banyak hal-hal yang justru sama sekali tidak professional. Mulai dari  sistematika liga yang berubah menuju ke arah yang lebih buruk, permasalahan wasit, penunjukan klub-klub yang akan berlaga, dan masih banyak lagi. Mungkin ISL lekat dengan aroma liga perserikatan, dimana mantan klub-klub perserikatan mendominasi disana. Namun, bukan berarti mereka harus “disetir” ke arah yang PSSI inginkan. Otonomi dan independensi harus diberlakukan, jika kita benar-benar ingin mewujudkan profesionalisme tersebut. Bukan karena seseorang memiliki kekuatan dan kekuasaan, lalu keinginan baiknya harus tercapai dengan cara yang ia mau. Karena jika caranya tidak tepat, hanya akan mencederai tujuan luhur dari keinginan itu sendiri.
Logika hukum juga harus diterapkan. Mana mungkin pemilik klub yang sah tiba-tiba klubnya disahkan untuk orang lain dengan alasan yang dibuat-buat. Regulasi promosi dan degradasi seolah dihilangkan dengan masuknya klub-klub tertentu ke kasta tertinggi liga Indonesia dengan alasan yang juga membuat kita mengerutkan dahi. Sementara itu mereka seolah-olah melupakan liga-liga di bawah liga teratas. Mau jadi apa persepakbolaan Indonesia jika dari organisasi dan kompetisinya tidak benar.
Ayolah, mari kita secara tulus dan tanpa pamrih benar-benar berniat untuk memajukan sepakbola tanah air. Duduk bersama, saling mendengarkan, musyawarah mufakat, taat pada sistim yang berlaku, dan menjujunjung tinggi kepentingan bersama di atas kepentingan kelompok atau individu, serta yang paling penting adalah GUNAKAN SUARA HATI KITA. Dengan begitu, sesungguhnya kata-kata “hari-hari esok adalah milik kita” tidak hanya menjadi nyanyian para supporter tim ibukota yang menginginkan timnya menjadi juara, namun menjadi sebuah pengharapan yang harus terlaksana bagi kita yang ingin suatu saat nanti persepakbolaan Indonesia bisa sejajar dengan persepakbolaan di negara lain seperti Jepang, Korea, atau bahkan di Eropa sana. Bukan tidak mungkin!