Rabu, 11 Januari 2012

Terjatuh di Lubang yang Sama












Di dataran biru nan anggun aku terkapar
Mencoba tuk melepas beratnya beban yang slama ini kupikul
Letih nian raga ini ku rasa
Parut di hati ini pun belum juga hilang
Sinar mentari menyapa, dengan teriknya ia menyambangi diri ini
Angin bertiup, mencoba tuk memberikan kesejukan dengan pelukannya yang damai
Orang-orang saling bercengkrama, hilir mudik satu sama lain, menebar pesonanya kesana-kemari
Mereka berlomba-lomba memperelok diri, entah untuk siapa?
Berkali-kali kucoba tuk menelan pahitnya pil pesona yang terlihat indah itu
Berulang-ulang kupaksakan tuk mencari, hilangnya sentuhan itu, sentuhan yang tlah lama tak kurasakan
Apakah itu? Ah, itu hanya sesosok fatamorgana duniawi yang bersifat candu dan tidak pasti
Hati-hati dengan sentuhan itu! Ia bisa sangat menentramkan jiwa atau sangat menyakitkan
Jatuh.. Ya, aku kembali jatuh di lubang yang sama
Lubang dimana aku pernah terperangkap di dasarnya
Mataku tidak awas..
Jaring-jaring kemunafikan terlihat bagaikan tanah yang kokoh, sehingga aku yakin tuk menapakan langkahku disana
Nyatanya? Di lubang hitam dengan bau anyir dan penuh dengan berbagai bangkai kini aku terjerembak
Seorang biduan mengulurkan tangannya ke arahku.. Parasnya tak asing
Ya, ialah seseorang yang pernah membuatku terjatuh dalam dekapannya
"Inilah sosok yang akan menyelamatkanku!", ucapku dalam kalbu
Ia akan membawaku terbang, menuju nirwana, menembus buih-buih awan kasih biru nan elok
Tinggi.. Tinggi sekali.. Sehingga aku lupa, bahwa kepalaku sekarang sudah berada di atas awan itu!
Kepakan sayapnya kian kencang, seiring dengan gelora jiwa ini yang meniupkan angin kebahagiaan
Tiba-tiba, ahhhhh... Aku terjatuh! Terjun bebas dengan cepat bagaikan kilat menyambar dunia
Mengapa aku terjatuh? Sesosok hitam diselimuti kabut tebal muncul dihadapanku
Ia menamakan dirinya 'masa lalu'
Aku memang sudah sadar, bahwa sosok itu terus membuntutiku semenjak aku lepas landas dan lupa daratan
Namun, tak kusangka.. Sekejap ia menghembuskan nafas racunnya, sehingga nafas itu membentuk tulisan "dia milikku!"
Aku terkejut! Secepat kijang yang tengah berlari, benda itu menghantam dada ini dan menggoreskan parut-parut baru
BRUUKKK.. Tubuhku nan lemah ini menghantam daratan
Kucoba tuk membuka rapatnya mata ini
Saat ku sadar, ternyata aku kembali terjerembak di lubang hitam berbau anyir itu
Berkeping-keping hancur raga ini, isi tubuhku bertebaran dimana-mana.. Lalat-lalat derita pun berdatangan dan menghinggapinya
Aku lupa, aku lupa.. Aku sungguh terlena akan candu duniawi itu
Seorang teman lama yang kupanggil 'nurani' datang dan berkata padaku, "Loyalitas adalah yang utama bung. Kau tahu itu!"
Namun, tiba-tiba gemuruh halilintar terdengar dan seolah-olah berkata, "Berjuanglah, jangan pedulikan apa kata bajingan ini!"
Hujan pun turun. Membasahi serpihan tubuhku ini dengan air dukanya
Pedih! Tubuh ini ku rasa. Terlebih lagi di bagian dada. Ya, di hati tepatnya
"Kadangkala seorang manusia walaupun ia sudah tahu bahwa ia akan mati jika melanjutkan sebuah perjuangan, ia akan tetap berjuang. Mengapa? Semata-mata untuk memperjuangkan makna dari perjuangan tersebut"
Aku coba bangkit dan mengais-ngais serpihan tubuh ini
Kucoba tuk merangkainya kembali walaupun tidak sesempurna dahulu
Fungsi hati ini entah masih seperti sedia kala atau tidak. Yang jelas kurasa adanya ruang hampa disana
Kucoba keluar dari lubang ini, walaupun tak terhitung berapa kali aku terperosok kembali kesana
Acapkali aku berhasil. Dengan tergopoh-gopoh kucoba tuk melaju dengan kakiku yang rapuh ini
Berkali-kali sosok hitam itu datang dan mengancamku. Berulangkali juga tubuhku hancur
Hatiku remuk tak berbentuk. Terpental aku kembali ke dalam lubang itu
Aku tak tahu sampai kapan aku akan terjatuh kembali ke dalam lubang ini
Lubang yang sudah terasa bagai rumah yang tak pernah aku inginkan
Aku letih.. Lelah.. Dalam kesukaranku, aku hanya bisa menuliskan surat kepada 'Segalanya'
"Berilah aku setetes air kasih-Mu, berilah aku candu yang menggiurkan itu lagi..
Namun izinkanlah aku untuk tetap berada di daratan. Bukan di langit atau di dasar lubang hitam ini
Melainkan di tempat yang wajar, dimana orang-orang merasakan kebahagiaan". (ARP)

Selasa, 10 Januari 2012

Loyalitas Tanpa Batas

Halo 2012.. Tahun baru, semangat baru. Itu kata orang tentang tahun yang baru. Kejadian-kejadian di akhir tahun 2011 dan di awal tahun 2012 yang saya alami, sungguh menginspirasi saya. Mungkin sedikit banyak kejadian-kejadian tersebut berkenaan dengan asmara dan keluarga. Entah pengaruh buruk ataupun baik yang akan saya dapat dari kejadian-kejadian tersebut, tetapi paling tidak saya bisa lebih peka akan makna setiap peristiwa yang terjadi.
“Loyalitas tanpa batas”. Slogan itu sering saya lihat terpampang di spanduk panjang yang membentang pada pertandingan sepakbola di Senayan, Jakarta. Sekilas memang slogan tersebut terkesan sangat arogan dan berapi-api. Karena secara logika kita tahu, bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki batasan-batasan tertentu (kecuali kuasa Tuhan tentunya). Namun sesungguhnya makna terdalam dari slogan itu adalah suatu perwujudan dari kecintaan seseorang terhadap suatu hal sehingga membuat sesorang tersebut benar-benar menjaga cinta tersebut dengan sebuah kesetiaan. Ya, memang pembicaraan mengenai cinta terkadang menjadi tabuh dewasa ini. Namun untuk membahas tentang kesetiaan, tidak mungkin melepaskannya dari perihal cinta tersebut.
Kadang kala seseorang sangat mengagung-agungkan sebuah kesetiaan (termasuk saya sendiri). Namun dewasa ini, saya pikir hal tersebut menjadi omong kosong belaka di beberapa aspek kehidupan. Kebutuhan akan banyak hala dalam kehidupan ini, mendesak kita sebagai individu untuk menanggalkan kesetiaan itu. Kita bisa lihat dalam kasus korupsi, bagaimana seseorang bisa dengan beraninya tanpa rasa takut dan malu untuk berbuat demikian tercela. Ia pastinya melupakan kesetiaannya terhadap institusi dimana ia bernaung, bahkan mungkin dalam lingkup yang lebih luas, ia melupakan kesetiaannya terhadap bangsa dan tanah airnya sendiri. Mereka melakukan hal tersebut mungkin saja karena kesetiaannya terhadap hal lain. Masih banyak hal lainnya yang dapat dijadikan contoh di berbagai bidang lainnya.
Mungkin saya tidak bisa menjabarkan kejadian-kejadian apa saja yang membuat saya berpikir ulang tentang makna sebuah loyalitas. Namun, saya berpikir bahwa apakah memang benar loyalitas yang benar-benar solid dan kokoh itu sudah tidak pas lagi untuk diterapkan di era sekarang ini? Apakah kesetiaan menjadi krisis dari tatanan nilai yang ada? Apakah kebutuhan dan keinginan menjadi tolak ukur pertama untuk meninggalkan keagungan sebuah loyalitas tersebut? Jawabannya ada pada interpretasi diri kita masing-masing. Manakah yang kita sebut loyalitas yang mulia? Atau loyalitas yang tumbuh karena aspek-aspek tertentu yang belum tentu menjadikan kita individu yang lebih mulia dari sebelumnya. Semuanya ada dalam diri kita.