Jumat, 04 Agustus 2017

Dunia Kedua

        Akhir-akhir ini aku senang sekali membaca penelitian-penelitian yang berhubungan dengan dunia antariksa, terutama perihal pencarian-pencarian tempat tinggal baru bagi umat manusia menggantikan planet bumi ini. Andaikan suatu saat para astronot dan astronom dapat menemukan sebuah tempat yang ternyata bisa dijadikan tempat tinggal manusia selain bumi ini, tentunya mereka membutuhkan sekumpulan orang-orang yang akan dijadikan percobaan pertama sebagai populasi baru untuk dapat hidup di tempat yang baru tersebut. Dan jika aku diberi kesempatan, aku ingin sekali menjadi salah satu dari orang-orang yang dikirim ke tempat tinggal baru tersebut. Mengapa? Bukan berarti aku tidak mencintai bumi ini. Bumi ini sangatlah indah. Mungkin, bumi adalah tempat terbaik yang diciptakan Tuhan sebagai tempat tinggal kita para makhluk ciptaan-Nya. Namun, ada hal lain yang membuatku tergugah sehingga terpikir untuk meninggalkan bumi ini.
        Menurutku segala yang ada di bumi atau dunia ini sudah sangat kompleks. Sudah tidak ada lagi kesederhanaan yang membuat segalanya menjadi lebih indah. Terlalu banyak pilihan-pilihan yang seringkali membuat manusia menjadi tidak bijak dan cenderung egois menjalani kehidupan ini. Perselisihan, permusuhan, dan pertengkaran yang bersumber dari perbedaan sudah menjadi hal yang sangat lumrah di dunia ini. Kita sebagai manusia sudah sangat enggan untuk berkompromi, bertoleransi, dan melakukan usaha lebih untuk menerima perbedaan itu sebagai suatu hal yang mau tak mau harus kita terima. Mengapa demikian? Karena kita diberi begitu banyak pilihan yang mengedepankan kesamaan dan membuat kita seolah-olah mengambil kesimpulan bahwa perbedaan adalah hal yang sangat harus dihindari. Perbedaan agama, warna kulit, jenis kelamin, suku, kewarganegaraan, ideologi, pemikiran, hingga kepribadian kerap kali menjadi sumber perpecahan di belahan manapun di dunia ini. Itu semua terjadi karena kita merasa bahwasanya kita tidak perlu menerima semua perbedaan itu dengan lapang dada. Toh, masih banyak orang-orang, kaum, golongan, atau kelompok lain yang memiliki banyak kesamaan dengan diri kita. Jangankan untuk berusaha bertoleransi dan berkompromi, untuk menerima perbedaan itupun kita sudah enggan.

        
        Kita ambil analogi. Andai kata di Kota Jakarta hanya ada 3 manusia yang hidup disana. Kita sebut mereka dengan inisial A, B, dan C. Mereka bertiga bersahabat. Namun, pada suatu saat karena berbagai perbedaan yang ada membuat A bersitegang dengan B, sedangkan B dan C masih tetap bersahabat. Karena keadaan tersebut A menjauhi B. Dengan demikian, secara otomatis A pun tidak dapat bersahabat lagi dengan C yang masih sangat dekat dengan B, dan memiliki sekian banyak kesamaan. Akhirnya A pun memutuskan untuk hidup seorang diri di kota tersebut. Namun, apakah bisa A hidup seorang diri dan mengkhianati kodratnya yaitu sebagai seorang manusia yang notabene adalah makhluk sosial? Jawabannya sudah pasti tidak akan bisa. Akhirnya karena ketidakmampuannya tersebut, A pun menurunkan egonya dan mulai berkompromi serta bertoleransi dengan B juga C. Ia akan berusaha untuk melupakan masalah yang terjadi, memaafkan, dan kembali menjalin hubungan baik dengan kedua orang tersebut. Karena jika ia tidak melakukan hal itu, tidak ada pilihan lain untuk A menjalin hubungan dengan manusia lain di Kota Jakarta itu. Namun, jikalau disana terdapat 1 orang lagi (sebut saja D) yang tidak mengenal B dan C, ia pasti akan berpikir ulang untuk menjalani hubungan kembali dengan B dan C, lalu memilih untuk mulai membina hubungan baru dengan D.
        Sekali lagi aku katakan bahwa seringkali dengan adanya begitu banyak pilihan, manusia menjadi kurang bijak dan meninggikan ego mereka dengan asumsi masih banyak pilihan-pilihan lain atau manusia-manusia lain yang mau "menerima" mereka tanpa mereka mencoba "menerima". Adanya banyak pilihan memang dapat membawa berbagai hal positif dalam hidup kita. Namun, sadarkah bahwa kita telah melupakan hal-hal negatif yang menguntai dari tersedianya begitu banyak pilihan yang ada. Ya, begitulah realita yang ada dewasa ini. Apa mau dikata? Memang sudah begitu adanya. Tinggal kita melihat lebih jauh ke dalam diri kita sendiri. Apakah kita adalah manusia yang terlarut oleh realita yang ada? Atau kita adalah manusia yang selalu berusaha menjadikan realita sebagai sesuatu yang bisa diwujudkan? Tentunya realita yang ideal adalah realita yang baik dan indah. Mungkin memang ada baiknya jika "dunia kedua" itu nyata adanya di kehidupan ini. Dan membuat manusia menyadari bahwa hubungan yang baik dan intim antar satu manusia dengan manusia lain adalah sebuah hal sederhana yang tak ternilai harganya. Amin. 
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar